Book Spill #3: Secangkir Teh Melati karya Bunjamin Wibisono (Book Review / Resensi Buku)

Hidup adalah keberanian, kata Hok Gie.”

Sebelum membeli buku, aku biasanya bertanya ke teman-temanku: tolong rekomendasi, buku apa yang bagus? Atau, aku mencari terlebih dahulu di internet, bertanya-tanya sendiri: apakah buku ini benar-benar bagus? Begitulah cara aku membeli buku. Akan tetapi, sekali-sekali, aku membeli buku tanpa referensi dari manapun. Aku akan memilih berdasarkan cover dan summary yang menarik. Buku ini salah satunya.

Aku menikmati kisah-kisah dari berbagai golongan masyarakat. Dari berbagai kewarganegaraan, etnis, pemikiran, status, keyakinan. Membaca literatur yang ditulis oleh beragam jenis orang yang dapat membuka wawasanku tentang bagaimana hidup bagi mereka. Summary di belakang buku ini mengatakan kalau ia menceritakan kisah seorang keturunan Tionghoa. Aku sendiri telah lama penasaran dengan kisah-kisah dari orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia. Jujur, aku jarang sekali melihat orang-orang etnis Tionghoa di lingkungan tempat tinggalku. Aku baru melihat banyak dari mereka pada saat aku masuk SMA.

Secangkir Teh Melati merupakan novel terbitan tahun 2018 yang menceritakan kehidupan tokoh Aku, seorang keturunan Tionghoa yang berlatar di Jakarta dan Bogor pada tahun 1950 hingga 1970an. Terbit pada tahun 2018, novel ini mengajak kita menelusuri berbagai tempat: Jakarta, Bogor, Surabaya, bahkan Inggris, dari sudut pandang Aku. Kisah novel ini dibagi menjadi dua bagian: sebelum tahun 1965 dan setelah tahun 1965. Tokoh Aku menceritakan hidupnya dari masa kecil yang ia habiskan di Jalan Biak, Jakarta, hingga masa dewasanya bekerja sebagai jurnalis koran yang mendapat beasiswa belajar ke Inggris.

Aku sendiri memiliki banyak kenangan indah dengan Jakarta. Seringkali aku berpetualang bersama teman-temanku di Jakarta, sembari berburu foto dan belajar sejarah dari tempat-tempat yang dikunjungi. Oleh karena itu, aku sangat menyukai cerita-cerita tokoh Aku yang ketika membacanya, rasanya seperti sedang kembali jalan-jalan di sana: Pasar Baru, Es Krim Ragusa, Kampus UI. Membuat kangen jalan-jalan ke Jakarta sama Ayah dan teman-teman. Karena sedang pandemi, jadi tidak bisa ke Jakarta. Lumayan mengobati rindu.

Bunjamin Wibisono, sang penulis novel, menulis seperti seorang kakek yang sedang bercerita tentang masa mudanya kepada anak cucunya. Jadi mudah dimengerti dan terasa akrab. Terdapat pesan-pesan (makin terasa seperti dinasehati sama orangtua, ya?) buat kehidupan pembaca dan sindiran-sindiran buat negara juga bertaburan dalam novel. Aku paling suka nasehat tentang membaca dan hobi membaca di Indonesia. Akan tetapi, gaya penulisan ini kadang mengakibatkan munculnya rasa bingung karena berakhir bertele-tele dan TMI (Too Much Information). “Ini mau membahas apa?” “Kok, jadi bahas ini?” batinku ketika membaca beberapa bagian cerita.

Ekspektasiku terhadap buku ini awalnya tinggi. Aku tidak sabar untuk membaca kisah hidup seorang keturunan Tionghoa di Jakarta. Pada akhirnya, aku merasa agak… kecewa? Mungkin karena hidupnya tidak semenarik yang aku kira di awal. Aku menyukai bagian cerita ketika dia masih SMA, ketika ia kuliah dan berteman dengan Soe Hok Gie. Akan tetapi, aku mulai bosan ketika ia menceritakan hari-harinya sebagai jurnalis. Bahkan ketika membaca bab Beasiswa, aku tidak terlalu bersemangat untuk lanjut membacanya.

Akhir kata, aku terombang-ambing antara ingin bilang “Aku menikmati buku ini” dan “Aku ngos-ngosan menyelesaikannya.” Akan tetapi, secara keseluruhan buku ini adalah buku yang mengingatkan aku untuk memanfaatkan kesempatan yang ada serta untuk berani dalam menjalani hidup. Jika kalian menyukai buku-buku seperti ini (formatnya seperti biografi, tetapi sang penulis berkata bahwa ini cerita fiksi), maka buku ini cocok menemanimu di kala liburan. Bisa sambil minum secangkir teh melati juga, ya. Hehe.

Sampai jumpa di Book Spill selanjutnya! /(‘-‘)/

Peringatan! Buku ini 15+ (untuk umur 15 tahun ke atas). Ada bagian dewasanya di akhir bagian 1. Di bab Kenangan Renovasi Rumah. Ada sedikit penggunaan kata kasar juga.

Leave a comment